Menu

Inspirasi Majapahit: Pengelolaan Warisan Budaya Majapahit Dalam Perspektif Lingkungan

Penyusunan buku Inspirasi Majapahit pada seri Pelestarian Dalam Perspektif Lingkungan ini dibuat dalam bentuk antologi artikel. Rangkaian tulisan mengenai pengelolaan warisan Majapahit dalam perspektif lingkungan ini dimaksudkan untuk melaporkan, mengulas, dan/atau menawarkan gagasan terhadap upaya pelestarian.

Penyusunan rangkaian tulisan dalam bentuk buku ini merupakan pengembangan dan keberlanjutan dari tema buku “Inspirasi Majapahit” (2014) yang mengangkat kemampuan nilai-nilai warisan budaya Majapahit yang dapat menginspirasi masa kini dan mendatang terhadap jati diri bangsa, aspek sosial budaya, serta aspek penciptaan budaya bendawi yang mampu menyejahterakan.

Aspek lingkungan menjadi fokus perhatian pada tema buku Inspirasi Majapahit kali ini. Hal ini didasari pemahaman bahwa manusia dan alam sebagai suatu kesatuan lingkungan menjadi faktor utama dalam usaha pelestarian. Hubungan saling pengaruh antara manusia dan alam dalam konteks kebudayaan menyerupai hubungan timbal balik yang kompleks antara lingkungan dan organisme yang dipahami sebagai ekosistem.

Untuk melihat perspektif lingkungan dalam kajian pelestarian pada warisan Majapahit, dalam buku ini diawali dengan pembahasan satuan ruang geografis Trowulan yang ditetapkan sebagai suatu Kawasan Cagar Budaya. Kawasan ini ditinjau kembali secara kritis dengan menggagas pelibatan aktivitas masyarakat sebagai salah satu komponen di dalam keterpaduan aspek fisik dan non fisik.

Artikel kedua mendemonstrasikan suatu pendekatan analisis keruangan secara makro dalam mengkaji industri batu bata di Trowulan yang berpotensi memberikan ancaman terhadap pelestarian situs Trowulan. Namun di lain pihak, aktivitas ini sering kali menemukan sebagian struktur kuno yang tak dipungkiri memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap interpretasi sejarah dan data arkeologis mengenai Majapahit di Trowulan ini. Pada bagian ini menunjukkan suatu gagasan strategi paradigma spasial jangka menengah dan paradigma lahan jangka panjang tanpa harus mengubah rencana apa pun tentang pelestarian Trowulan. Sebaliknya pendekatan ini berpotensi dapat mengisi pendataan detail atas apa yang harus dilestarikan dan apa yang menjadi ancaman di masing-masing zona yang sedang disusun melalui Zonasi Kawasan Cagar Budaya Trowulan.

Aspek makhluk hidup berupa manusia sebagai salah satu komponen lingkungan dalam konteks kawasan warisan budaya Majapahit dibahas pada artikel ketiga yang mengkaji lima individu sisa rangka manusia di kompleks Candi Kedaton dan Sumur Upas. Temuan sisa rangka manusia tersebut merupakan hasil ekskavasi tahun 1996 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang terletak di kaki Candi Kedaton dan di dalam terowongan Sumur Upas. Kajian manusia di situs Trowulan sejauh ini merupakan satu-satunya analisis yang komprehensif mengenai sisa rangka manusia dari periode masa kebudayaan Klasik Indonesia. Hasil penelitian yang dituangkan dalam artikel ini menegaskan bahwa kelima rangka tersebut diduga hidup pada masa akhir Kerajaan Majapahit.

Artikel keempat membahas pelestarian Kawasan Cagar Budaya Trowulan dalam aspek perencanaan sumber daya manusia melalui pengembangan ekonomi kreatif. Kajian ini berdasar dari hasil penelitian yang memandang bahwa masyarakat sebagai pemilik dan pewaris warisan budaya merupakan aset bagi upaya pelestarian lingkungan Trowulan saat ini. Pada bagian ini sekaligus menjadi tanggapan terhadap pertanyaan reflektif apakah warisan budaya mampu untuk menyejahterakan rakyat? yang dalam konteks bahasan ini mampukah Warisan Budaya Majapahit menyejahterakan masyarakat di sekitarnya?

Artikel kelima dalam buku ini menawarkan suatu ide dalam pemanfaatan situs-situs yang ada di Trowulan sebagai perwujudan salah satu upaya pelestarian Cagar Budaya. Melalui studi pustaka dan studi perbandingan, penulis menawarkan suatu konsep pemanfaatan berupa Open Air Museum dengan pendekatan humanis, lingkungan, dan teknis sebagai alternatifnya. Perihal ini mengingat bahwa hingga saat ini relatif masih belum ada museum dengan konsep Open Air Museum di Indonesia.

Bagian akhir penyajian antologi artikel ini kita akan melihat bagaimana lingkungan masa Majapahit dapat direkonstruksi melalui penelaahan terhadap paparan telaah tekstual mengenai ritual Shradda dan upacara Grebeg Mulud yang masih dapat dijumpai hingga saat ini. Melalui penelaahan gambaran ke dua upacara tersebut tercermin suatu konsep pola keruangan yang terwujud dalam konsep Mandala yang sekaligus menerapkan filosofi kosmologi Majapahit ke dalam bagian-bagian kewilayahan yang dikenal sebagai Monco Pat Limo Pancer. Konsep keruangan dalam lingkungan terbangun inilah yang banyak terwarisi dalam penataan ruang pemukiman saat ini.

Pemesanan: http://ugm.id/ipm2