Masa Muncul Kembali dibagi menjadi empat bagian, yakni:
Penelitian tentang Majapahit pertama kali dilakukan oleh Kapten (kelak Mayor) Insinyur Johannes Willem Bartholomeus Wardenaar (1785–1869) atas perintah Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jawa yang memerintah pada periode 1811-1816. Wardenaar [1] sebagai surveyor militer diperintahkan Raffles pada tanggal 22 Agustus 1815 untuk membuat peta Trowulan. Bekas ibukota Kerajaan Majapahit tersebut ditemukan dalam kondisi tertutupi oleh semak belukar yang tinggi dan dipenuhi oleh pohon jati. Kawasan ini dilewati oleh cabang dari Jalan Raya Pos (grote postweg) Anyer-Panarukan yang telah dibangun Daendels pada tahun 1809 – 1810. Kawasan Trowulan terbelah oleh jalan yang menuju Wirosobo (saat ini Mojoagung) dan jalan menuju Japan (saat ini Mojokerto). Pembangunan jalan ini memberikan dampak terhadap kehancuran dan kerusakan fisik artefak tinggalan Majapahit ketika dilakukan konstruksi jalan.
Hasil penelitian Wardenaar menghasilkan sebuah peta (lihat Gambar 1) yang memuat uraian singkat serta beberapa sketsa gambar tentang bangunan yang dijumpainya. Hasil survei tersebut menggambarkan 26 unit rumah di kawasan kedaton (lihat Gambar 1). Hal ini mengindikasikan populasi penduduk yang tinggal di kawasan kedaton Majapahit pada tahun 1815 adalah berkisar 50 – 130 jiwa. Jumlah penduduk ini sangat kecil jika dibandingkan dengan luasnya area hutan dan semak belukar di sekitarnya. Wardenaar mengirimkan dokumen asli tersebut ke Raffles pada akhir tahun 1815, akan tetapi Wardenaar sendiri tidak menyimpan salinannya (Gomperts, dkk., 2012: 178-93). Peta ini tidak diketahui berada di mana, bahkan sampai kematiannya tahun 1869.
Gambar 1 Peta Majapahit karya Wardenaar tahun 1815 (Gomperts dkk., 2014) Hak cipta: The Trustees of the British Museum.
Gambar 2 Rincian Peta Kawasan Kedaton Majapahit karya Wardenaar 1815 (Gomperts dkk., 2014) Hak cipta: The Trustees of the British Museum.
Peta Wardenaar ditemukan kembali dari hasil penelusuran yang dilakukan oleh Peter Carey ke Koleksi Drake di British Museum pada tanggal 12 Maret 2008 atas saran dan petunjuk rekannya, yaitu Amrit Gomperts dan Ir. Arnoud Haag (Kubontubuh, 2019:100). Kajian terperinci dari ketiga peneliti ini menggunakan perangkat lunak GIS (Geographic Information Systems) dan metode numerik langsung terhadap peta tersebut. Sebagian besar objek cagar budaya yang digambarkan oleh Wardenaar masih ada di lokasi saat ini secara akurat, dan dikutip dalam berbagai terbitan publikasi. Objek-objek cagar budaya yang telah dipugar oleh pemerintah, antara lain Candi Menakjinggo, Bajang Ratu, dan Candi Brahu. Sementara itu, ada pula objek cagar budaya yang telah hilang saat ini antara lain Candi Mut?ran (lihat sketsa pada Gambar 3). Selain itu, terdapat pula patung Joko Dolog yang telah dipindahkan ke Taman Apsari di Surabaya (lihat sketsa pada Gambar 3).
Gambar 3 Sketsa Candi Mut?ran (kiri) dan Patung Joko Dolog (kanan) (Wardenaar, 1815 dalam Gomperts dkk., 2014) Hak cipta: The Trustees of the British Museum. |
Survei Wardenaar dengan hasil peta yang sangat akurat dengan keterbatasan peralatan yang digunakaan saat itu serta akurasi lebih kurang 40 meter, nampaknya belum bisa memuaskan Raffles yang ingin menunjukkan peradaban Jawa yang adiluhung yang berada di bawah kekuasaannya. Hal inilah yang mendorong Raffles tidak memasukkan hasil survei dan laporan Wardenaar dalam History of Java [2] yang diterbitkan di London pada 10 Mei 1817. Keputusan Raffles tersebut telah memberikan pemahaman tersendiri tentang bagaimana Raffles memandang peradaban Jawa. Alexandra Green, [3] kurator tentang Asia Tenggara di British Museum, memberikan spekulasi bahwa Raffles hanya ingin menyajikan peradaban tingkat tinggi yang diyakininya tercermin dari material bangunan, yaitu batu andesit sebagaimana Borobudur, Prambanan, candi-candi di Dieng, dan area di Jawa Tengah lainnya. Sementara bangunan yang terdapat di Trowulan yang hampir keseluruhan terbuat dari material batu bata merah dianggap kurang mencerminkan tingginya peradaban, di samping kekuatan materialnya masih di bawah batu andesit. Di Eropa urutan tingginya karya cipta berdasarkan kekuatan material adalah batu andesit di posisi pertama, disusul oleh batu bata, dan kayu. Spekulasi ini merupakan asumsi yang belum dikonfirmasikan dalam suatu publikasi tertulis. Terkait dengan nama besar Majapahit, maka keputusan Raffles tersebut mengakibatkan keberadaan Trowulan tidak mendapatkan sorotan sebagaimana kawasan bersejarah lainnya yang diuraikan dalam buku “History of Java”.
Selain Raffles, ada pula pejabat masa kolonial Inggris lainnya yang pernah menelusuri tentang keberadaan bekas pusat Kerajaan Majapahit. Letnan (kelak Let-Kol.) Henry G. Jourdan [4] menyiapkan laporannya tentang wilayah Wirosobo dan Japan, tertanggal 28 April 1813. Ia menguraikan tentang kawasan Trowulan yang masih sebagian berupa hutan belantara dan mulai diadakannya penelitian untuk menelusuri kembali kota tersebut serta adanya penemuan arca-arca dan konstruksi tinggalan Hindu.
Kolonial Belanda [5] telah menyadari jejak tinggalan kebesaran Kerajaan Majapahit bisa menjadi bentuk kekuatan yang mendorong kebangkitan di wilayah jajahannya di Hindia Belanda. Kekuatan inilah yang membuat pemerintah kolonial berhati-hati dalam mengangkat euforia tentang Majapahit yang bisa menyulut pemberontakan untuk melepaskan diri dari penjajah. Pangeran Diponegoro (1785-55) sebagai pemimpin Perang Jawa (1825–30) atas desakan Sentot Alibasyah-panglima perangnya, sempat berpikir untuk memperluas wilayah penaklukannya ke luar Jawa dan mendirikan suatu kemaharajaan Nusantara timur dengan inspirasi dari kejayaan Majapahit. Ungkapan ini tercatat dalam perjalanannya ke pengasingan di Manado, Sulawesi pada bulan Mei-Juni 1830 (Catatan dari Knoerle 20 Juni 1830 dalam Carey, 2012:693 catatan kaki 241).
Selanjutnya, sistem Tanam Paksa (1830–70) mengharuskan setiap desa menyisihkan sekurangnya dua puluh persen tanah desa untuk ditanami tanaman komoditas ekspor yaitu tebu. Sementara itu area utama Trowulan tidak mengalami perubahan fungsi lahan antara tahun 1830 dan 1879, walau area di luar Trowulan ditanami tebu sebagaimana desa-desa lainnya dalam periode Tanam Paksa. Berdasarkan peta dari Survei Artileri atau Ordnance Survei (OS) bahwa pada tahun 1879 hanya tersisa 6 rumah dari 26 rumah yang digambarkan oleh Wardenaar pada tahun 1815. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penduduk Trowulan justru berpindah keluar dari Trowulan pada periode Tanam Paksa tersebut. Setelah tahun 1879 barulah terjadi perubahan besar di mana peta OS dan survei topografi sejak tahun 1892, 1915, 1925, dan 1941 menunjukkan masuknya pendatang ke Trowulan untuk mencari pekerjaan baru dengan berkembangnya pabrik gula di Jawa Timur. (Gomperts dkk., 2014:74).
Paralel dengan sistem tanam paksa, pemerintah kolonial Belanda memulai pembangunan industri untuk menggerakkan ekonomi, salah satunya adalah industri gula di Jawa Timur. Pembangunan pabrik-pabrik gula dilakukan dengan memanfaatkan material yang ada. Salah satu material yang digunakan adalah batu bata dari bekas struktur bangunan tinggalan Majapahit di Trowulan. Penghancuran tinggalan arkeologis di Trowulan dimulai pada masa dimulainya periode Tanam Paksa yang mewajibkan penanaman tanaman komoditas (cash crop agriculture). Selanjutnya masyarakat di Trowulan menemukan bahwa tanah di sana mengandung tanah liat sebagai bahan utama untuk produksi batu bata tradisional (linggan). Perajin linggan menjadi profesi baru di Trowulan pada masa itu. Tanah Trowulan digali sampai kedalaman dua meter untuk memproduksi batu bata linggan. Pembangunan industri gula pasca berakhirnya Perang Jawa tahun 1830 telah memunculkan tekanan dan ancaman bagi keberadaan situs Majapahit di Trowulan, di mana permintaan batu bata linggan sangat tinggi untuk pembangunan pabrik gula (Gomperts dkk., 2010:13).
Beberapa catatan tentang perkembangan industri gula terdapat dalam Memori Serah Jabatan Jawa Timur dan Tanah Kerajaan 1921-1930 atau Politieke and Algemeen Verslagen, and Memorie van Overgaven atau halaman 56-59, serta berbagai catatan komunikasi yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tahun 1978. Surat tulisan tangan laporan Asisten Residen Mojokerto kepada Residen Surabaya serta dokumen-dokumen pribadi dari Eschauzier Corporation NV, [6] yaitu sebuah perusahaan gula yang berbasis di Mojokerto saat itu. Hal ini dapat pula dicermati dari laporan-laporan para pengunjung [7] ke Trowulan dalam pertengahan Abad ke-19 yang mengemukakan bahwa tinggalan Majapahit di Trowulan tersebar berupa tinggalan struktur dan pondasi batu bata yang sudah tidak utuh lagi. Dengan demikian kehancuran fisik Trowulan mencapai puncaknya pada masa tersebut, namun Trowulan dan daerah lainnya di Jawa Timur menjadi signifikan sebagai pusat industri gula sejak tahun 1930.
Era liberalisme pada masa penjajahan Belanda, yaitu tahun 1870 dimulai dengan diperkenalkannya Hak Sewa Tanah untuk penggunaan selama 70 tahun. Dampaknya adalah bermunculannya pabrik gula partikelir milik swasta, selain pabrik gula milik negara. Investasi modal asing mulai bermunculan pada masa ini, yang jauh lebih besar dari modal pribumi yang biasanya hanya dipergunakan untuk perdagangan lokal.
Kepemilikan pribumi tidak sebesar kepemilikan swasta. Hal ini mengakibatkan perubahan kepemilikan lahan seperti pabrik gula dan perkebunan tanaman pewarna nila (indigo) yang semula didominasi oleh kepemilikan pemerintah menjadi diambil alih kepemilikan swasta. Kepemilikan tanah Trowulan terbagi-bagi kepada individu-individu pendatang (swasta) yang mulai menetap di Trowulan pada awal masa tanam paksa dan industrialisasi gula. Penelusuran ini menunjukkan bahwa kondisi ini mengakibatkan tantangan dalam pembangunan Trowulan di masa ke depan, terutama upaya pelestarian bagi objek cagar budaya dalam lahan yang tidak dimiliki oleh pemerintah.
Kebesaran Majapahit memang tidak ditampilkan secara langsung oleh pemerintah kolonial, namun mereka tetap ingin mengetahui secara mendalam melalui penelitian dan pendataan yang dilakukannya selama masa kolonial. Salah satu laporan penting dalam internal pemerintah kolonial adalah laporan dari Bupati Mojokerto pada tahun 1899, yaitu Rapport van den Regent van Modjokerto en Djombang aangaande diens voorlopig Onderzoek van Oudheden in het Gehucht Kedaton (Desa Trawoelan), Residentie Soerabaja [Laporan Bupati Mojokerto dan Jombang tentang Penelitian Purbakala di Desa Kedaton].
Ario Kromodjojo Adi Negoro IV adalah Bupati Mojokerto yang menjabat tahun 1894–1916 yang dikenal sebagai perintis Museum Mojokerto. Terdapat keberadaan tinggalan arkeologis Majapahit di Desa Kedaton yang dilaporkan. Candi Kedaton dan area Sitinggil seluas lima hektar dilaporkan masih tertutup oleh tanah. Laporan ini ditindaklanjuti dengan penelitian arkeologi profesional serta ekskavasi yang dilakukan mulai tahun 1913–1942 oleh Dinas Purbakala masa pemerintahan kolonial Belanda atau Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indië (OD, post-1949). Pemetaan kepurbakalaan berdasarkan survei arkeologi Kabupaten Mojokerto diawali oleh RT Kromo Adi Negoro, Bupati Mojokerto yang menjabat tahun 1916-1933 menggantikan ayahnya, Ario Kromodjojo Adi Negoro IV.
Pada tahun 1921, Peta Kepurbakalaan Modjokerto diterbitkan (lihat Gambar 4). Peta kepurbakalaan tersebut adalah peta yang belum pernah dijadikan dasar penelitian tentang Trowulan selama ini. Sejak dibawa oleh Maclaine Point ke Australia, peta ini tidak pernah beredar di Indonesia. Peta tersebut baru dijadikan sebagai dasar penelitian oleh peneliti pasca kemerdekaan, antara lain sejarawan Adrian Perkasa (2015) maupun Catrini Kubontubuh (2021). Peta ini memiliki signifikansi berupa penggambaran reruntuhan tembok keliling atau disebut ringmuur yang mengelilingi kawasan yang diinterpretasikan sebagai inti dari ibukota Majapahit berdasarkan pemusatan sebaran objek cagar budaya. Peta Kepurbakalaan Modjokerto 1921 juga mengungkapkan keberadaan nama-nama desa yang disebutkan dalam kakawin N?garak?t?gama masih dijumpai pada saat penyusunan peta tersebut. Hal ini menunjukkan keakuratan N?garak?t?gama sebagai rujukan sejarah. Terdapat pula pemetaan gundukan dan tumpukan bata merah yang sudah hancur di beberapa lokasi yang telah berubah menjadi permukiman saat ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa beberapa objek cagar budaya di Trowulan telah mengalami kehancuran pada saat penyusunan peta tahun 1921. Sementara, sisa-sisa tembok keliling diberi warna merah pada bagian reruntuhan yang telah ditemukan.
Gambar 4 Peta Keurbakalaan Modjokerto (R.T. Kromo Adi Negoro, 1921).
Selanjutnya Henri Maclaine Pont (1884-1971) [8] melakukan penelitian dan ekskavasi di Trowulan sejak tahun 1921. Ia memiliki latar belakang arsitektur sehingga penelitiannya tentang ekskavasi arkeologi di Trowulan yang bukan merupakan dasar keilmuannya, masih diperdebatkan ketepatannya oleh para peneliti lainnya. Maclaine Pont bersama Raden Tumenggung Kromo Adi Negoro telah menyusun dua peta, yakni Emplacement van Majapahit atau Map of the Majapahit Terrain (1924) dan Majapahitische Restantenkaart atau Map of the Archeological Remains (1926), Kedua peta ini tidak dipublikasikan namun menjadi tambahan literatur tentang Majapahit. Penelitian yang dilakukan oleh keduanya menjadi dasar berdirinya Oudheidkundige Vereeniging Majapahit (OVM) yaitu suatu perkumpulan yang bertujuan untuk meneliti peninggalan-peninggalan Majapahit.
Maclaine Pont berpendapat bahwa ada dua sumber utama yang dapat digunakan untuk mengetahui bentuk fisik kota Majapahit. Sumber pertama adalah sebaran cagar budaya di lokasi, dan sumber kedua adalah literatur yang menjadi catatan dari berbagai data di masa lalu (Depdikbud, 1986). Sketsa rekonstruksi kota Majapahit (lihat Gambar 5) disusun berdasarkan hasil ekskavasi yang dilakukan Maclaine Pont dan uraian dalam N?garak?t?gama.
Setelah itu, Maclaine Pont melakukan ekskavasi di Desa Bejijong, Trowulan pada tahun 1926 untuk membuktikan adanya petilasan (pertapaan/hermitage) Mpu Bharada yang berasal dari abad ke-11. Bila merujuk kepada Prasasti Alasantan (939 M) yang ditemukan tahun 1890, maka dapat dinyatakan bahwa sebelum Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293, telah ada kerajaan yang berdiri di sana yaitu pada masa Mpu Sindok (928/9-947).
Gambar 5 Sketsa rekonstruksi kota Majapahit oleh Maclaine Pont 1924 (Depdikbud, 1986).
Puncak penelitian-penelitian ini adalah pada bulan Januari-September 1930 ketika seorang arsitek berkewarganegaraan Austria dari Surabaya, Bruno A.G. Nobile de Vistarini (1891-1971), melakukan ekskavasi tembok kedaton Majapahit di bawah pengawasan Pimpinan Sementara OD (Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie / Dinas Kepurbakalaan Hindia Belanda), Pieter van Stein Callenfels. Gambar 6 menunjukkan Peta Ekskavasi Vistarini di tahun 1931. Hasil ekskavasi menguraikan bahwa tinggalan arkeologi di bagian selatan Makam Panggung telah hancur, sementara kolam yang memanjang utara-selatan dengan lebar 50 meter juga telah hilang, demikian pula tembok dalam kedaton sudah tidak ada. Penggalian telah dilakukan sampai kedalaman 2-4 meter (Gomperts dkk., 2008:6)
Gambar 6 Peta Ekskavasi oleh Vistarini 1931 (Vistarini, 1931:31 dalam Gomperts dkk., 2008: 6) Hak cipta: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde).
Selain itu, penelitian dan tulisan dari Direktur OD, Stutterheim pada tahun 1948 yang berjudul De Kraton van Madjapahit, telah dipublikasikan pada tahun 1948 setelah kematian Stutterheim bulan September 1942. Publikasi tersebut dilakukan oleh kolega sejawatnya di OD, yaitu F.D.K. Bosch, yang telah menjabat sebagai kepala OD pada tahun 1916-28 dan tahun 1929-36. Gambar 7 menunjukkan peta karya Stutterheim yang menggambarkan kompleks kedaton dan pusat kota Majapahit. Selanjutnya Stutterheim dalam Gambar 8 menggunakan hasil ekskavasi Vistarini tahun 1930 dan selanjutnya melakukan plotting berdasarkan uraian dari N?garak?t?gama (1365) karya Mpu Prapanca ke dalam peta topografi tahun 1941 yang merupakan tahun terakhir dari era kolonial Belanda di Hindia Belanda. Stutterheim juga melakukan perbandingan penting antara kedaton Majapahit dengan puri di Bali bagian selatan, maupun keraton Jogja di Jawa Tengah.
Gambar 7 Peta Kedaton dan Ibu Kota Majapahit oleh Stutterheim 1948 (Stutterheim, 1948:124 dalam Gomperts dkk., 2008: 4) Hak cipta: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde).
Kedaton dan Ibu Kota Majapahit (Stutterheim, 1948)
No | Keterangan |
1 | kutha. |
2 | purawaktra. |
3 | lêbuh agêng = bubat. |
4 | brahmasthãna. |
5 | gopura. |
6 | panggung. |
7 | pêkên agöng. |
8 | catuspatha. |
9 | lêbuh (pahöman balasamûha). |
10 | wanguntur. |
11 | witãna. |
12 | wreçma panangkilan. |
13 | nggwan çaiwaboddha. |
14 | rijkstempel erf |
15 | pasewan I. |
16 | hawan. |
17 | tañjung. |
18 | mandhapa. |
19 | pasewan 11. |
20 | wijil ping kalih. |
21 | natar. |
22 | grhanopama. |
23 | witâna. |
24 | wijil pisan. |
25 | singhawarddhanan. |
26 | krtawarddhanan. |
27 | woonplaatsen çiwaieten. |
28 | woonplaatsen buddhisten. |
29 | woonplaatsen mantris. |
30 | pura van Wêngkêr. |
31 | dalêm van Matahun. |
32 | dalêm (kuwu) van patih van Daha. |
33 | dalêm (kuwu) van patih van Majapahit. |
34 | kadharmmâdhyaksan kaçaiwan. |
35 | kadharmmâdhyaksan kaboddhan. |
Gambar 8 Peta Kedaton dan Ibu Kota Majapahit dalam Topografi Stutterheim 1948 (Stutterheim, 1948:124 dalam Gomperts dkk., 2008). Hak cipta: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde).
Dengan demikian, penelitian yang telah dilakukan di masa kolonial telah memberikan catatan signifikan tentang survei arkeologi dan penyusunan peta-peta penting tentang Trowulan, yaitu meliputi Peta Kepurbakalaan Modjokerto (Kromo Adi Negoro, 1921), Peta Rekonstruksi Kota Majapahit (Maclaine Pont dan Kromo Adi Negoro, 1924 dan 1926), Peta Ekskavasi (Vistarini, 1931), dan Peta Kedaton dan Pusat Kota Majapahit (Stutterheim, 1948). Hasil penting dari temuan survei dan informasi peta adalah data kondisi kedaton Majapahit dan sebaran cagar budaya yang terpusat di sekitarnya.
Pada awal tahun 1980-an, Departemen Pendidikan dan Kebudayan (Depdikbud) mengadakan studi kelayakan untuk lokasi pembangunan Museum Trowulan. Museum ini dimaksudkan untuk menampung artefak yang tersebar di Trowulan termasuk beragam temuan arkeologis yang sudah mulai dikumpulkan sejak masa kolonial oleh Maclaine Pont dan RT Kromo Adi Negoro sejak tahun 1921. Rintisan Museum Mojokerto bahkan sudah dimulai sejak pemerintahan ayahnya, yaitu Ario Kromodjojo Adi Negoro IV yang menjabat Bupati Mojokerto tahun 1894–1916.
Mundardjito (guru besar arkeologi dari Universitas Indonesia tahun 1995-2001) adalah salah satu arkeolog yang memimpin studi kelayakan Museum Trowulan. Ia merekomendasikan agar pembangunan gedung museum dihentikan pada tahun 1980 karena banyaknya temuan di dasar pondasinya. Pemerintah melalui Bappenas akhirnya memutuskan pembangunan sebagian dari museum tidak dilanjutkan untuk menjaga keberadaan artefak permukiman kuno Segaran yang masih terpendam di bawah tanah.
Selanjutnya Dinas Purbakala bersama peneliti dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia mulai melakukan penelitian tinggalan Majapahit. Abu Sidik Wibowo (1936-1985), yang pernah menjabat sebagai Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), melakukan penelusuran Kedaton Majapahit pada tahun 1980 berdasarkan N?garak?t?gama dan laporan Krom. [9] Ia menunjukkan bahwa lokasi Kedaton Majapahit diduga berada di area Desa Kedaton. Tahun berikutnya (1981), Kardono Darmoyuwono (1928-1984) yang merupakan geomorfolog dan ahli penginderaan jauh, lulusan Enschede (Nederland) mengkoordinasikan para arkeolog dan ahli tanah untuk mengidentifikasi Kedaton Majapahit di Dusun Kedaton. Darmoyuwono juga menggunakan teks N?garak?t?gama hasil transliterasi Slamet Mulyana (1979). Darmoyuwono dan tim mengidentifikasi adanya 700 meter pondasi batu bata di sebelah barat di luar tembok kedaton yang terletak di barat Desa Kedaton. [10] Sementara itu Vistarini telah melakukan ekskavasi sebelumnya di bagian timur kedaton mulai tahun 1930. Selain identifikasi kedaton, dilakukan pula pemetaan kawasan bekas ibukota Majapahit secara keseluruhan. Peta Bakosurtanal tahun 1983 juga merupakan upaya melakukan pengamatan Trowulan melalui penginderaan jauh berupa foto udara. Gambar 9 menunjukkan hasil foto udara yang diinterpretasikan sebagai sistem jaringan air – sebagian ahli (seperti Agus Aris Munandar 2013) menyatakannya sebagai parit, sementara sebagian ahli yang lain (Mundardjito 1986) menduganya sebagai kanal. Dugaan sistem kanal ini sampai sekarang belum terbukti dari penggalian hidrologi yang belum menemukan pintu air dan kelengkapan kanal lainnya yang seharusnya ditemukan, mengingat Trowulan terletak antara 35 dan 50 meter di atas pemukaan laut.
Gambar 9 Hasil interpretasi foto udara Trowulan (Bakosurtanal, 1983; dalam Depdikbud,1986:25).
Penelitian tentang Trowulan untuk menyusun Rencana Induk Arkeologi (RIA), diselenggarakan tahun 1983-1985 oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dipimpin oleh Haryati Soebadio, Dirjen Kebudayaan (menjabat 1978-1987). Penelitian yang melibatkan arkeolog dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia lintas sektoral menghasilkan Rencana Induk Pemugaran Arkeologi Bekas Kota Kerajaan Majapahit tahun 1986 dan buku berjudul Bukti-bukti Kejayaan Majapahit Muncul Kembali. (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 1986). Penelitian ini merupakan langkah awal dari perhatian pemerintah untuk memulai ekskavasi sampai kegiatan pemugaran di Trowulan dengan salah satu tujuan adalah untuk pengembangan pariwisata.
Keseriusan pemerintah ditunjukkan dalam implementasi program pemugaran yang masuk dalam buku Program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) IV tahun 1985-1990. Tercatat beberapa bangunan di Trowulan yang telah dipugar antara lain Candi Tikus (dipugar tahun 1985 dan selesai tahun 1989), Gapura Bajang Ratu (1989-1992), Gapura Wringin Lawang (1991-1994), dan Candi Brahu (1990-1995). Namun kegiatan pemugaran tersebut masih sangat terbatas pada lingkup arkeologi. Selain itu, terdapat tantangan yang besar berupa perusakan situs dan bangunan tinggalan Majapahit oleh sebagian penduduk Trowulan yang sedang bergelut memenuhi kebutuhan hidupnya (Mundardjito, 1986).
Para peneliti dari luar negeri juga melakukan penelitian tentang Majapahit di Trowulan. Kerjasama antara perguruan tinggi internasional yaitu National University of Singapore dikoordinasikan oleh John Miksic dengan perguruan tinggi dalam negeri, bersama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menyelenggarakan Indonesia Field School of Archaeology (IFSA) tahun 1991-93. IFSA didukung oleh Ford Foundation untuk melakukan survei permukaan Trowulan. Penelitian IFSA menghasilkan kajian berdasarkan sebaran keramik. Harus diakui bahwa validitas dan reliabilitas peninggalan arkeologi di permukaan Trowulan sebagai data penelitian survei sistematis masih diragukan. Hal ini diakibatkan oleh dinamika perubahan dalam beberapa dekade terakhir, terutama disebabkan aktivitas manusia yang negatif. Aktivitas negatif bisa berlangsung secara intensif dalam kurun waktu yang relatif lama. Namun demikian, penelitian IFSA tetap dilaksanakan di Trowulan untuk memenuhi standar prosedur penelitian spasial (arkeologi spasial). Hasil studi ini akan menetapkan secara empiris tingkat kepercayaan tentang data permukaan, dan kemungkinan data di bawah tanah Trowulan (Miksic, 1992). Menurut Miksic, lokasi di Trowulan di mana terdapat kepadatan sebaran keramik walau sudah tidak utuh lagi, tetap bisa menunjukkan bahwa kawasan itu bermakna penting dalam sejarahnya karena menjadi tanda adanya aktivitas hunian, dan lebih lanjut jenis keramiknya dapat menunjukkan strata sosial pelaku aktivitas di lokasi tersebut.
Selanjutnya pada tahun 2008-2013, dosen dan mahasiswa arkeologi yang berasal dari empat perguruan tinggi dalam negeri yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, dan Universitas Hasanuddin tergabung dalam program Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI) yang diselenggarakan oleh Yayasan ARSARI Djojohadikusumo. Pemilihan keempat perguruan tinggi tersebut adalah berdasarkan adanya jurusan arkeologi di masing-masing kampus.
PATI 1 pada tahun 2008-2011 telah melakukan identifikasi kembali Kedaton Majapahit, dengan berkonsentrasi pada ekskavasi di sekitar 30-80 meter dari penggalian Vistarini tahun 1931 (Arifin dan Permana, 2011) [11] yaitu. Hasil PATI 1 merangkum penelitian ekskavasi dan analisis kajian tentang posisi mandala dari Kedaton Majapahit sebagai orientasi pola pemusatan setiap artefak yang ditemukan di sekitar kedaton. PATI 1 sangat terbatas pada kajian lingkup arkeologi dengan salah satu misinya adalah memberikan pembekalan kepada para mahasiswa dalam proses tahapan penelitian arkeologi di lapangan.
Sementara PATI 2 dilakukan pada tahun 2012-2013 [12] dengan fokus memperdalam pemahaman tentang peradaban masa Majapahit, terutama sistem bangunan suci dan fungsi sumber air serta jaringannya. Salah satu peneliti PATI dari Universitas Indonesia yaitu Aris Munandar [13] mengakui kebenaran penelitian bahwa saluran air di Trowulan bukan kanal melainkan hanya berupa parit seperti penelitian yang dilakukan oleh Amrit Gomperts, Arnoud Haag, dan Peter Carey (Gomperts dkk., 2014: 73 note 8). Pendapat tentang keberadaan kanal di Trowulan sebelumnya diasumsikan oleh para peneliti dari foto udara yang diambil oleh Bakosurtanal pada tahun 1983 sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Penelitian tentang Trowulan juga dilakukan oleh peneliti dari keilmuan arsitektur. Perspektif para arsitek telah memberikan kontribusi dalam melengkapi kajian tentang model bangunan hunian, pola tata ruang, dan pembentukan ruang imajiner berdasarkan pemaknaan nilai oleh masyarakat setempat, yakni:
Selanjutnya, penelitian dalam perkembangan pasca kemerdekaan ini juga dilengkapi dengan adaptasi teknologi yang dipergunakan dalam melakukan kajian terhadap penelitian terdahulu. Peneliti Amrit Gomperts (ahli fisika), Arnoud Haag (ahli hidrologi), dan Peter Carey (ahli sejarah) telah melakukan inisiasi georeferensi terhadap peta-peta penting yang dihasilkan dalam masa kolonial.
Gomperts dkk, 2014 melakukan georeferensi terhadap peta Majapahit karya Wardenaar (1815). Ketepatan akurasi dari hasil survei Wardenaar memberikan gambaran aktual sebaran objek cagar budaya di kawasan Trowulan sebagai bekas pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit (lihat Gambar 10). Peta karya Wardenaar juga menunjukkan lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang lebih memfokuskan kepada kedaton dan kawasan sekitarnya.
Gambar 10 Georeferensi Peta Majapahit Wardenaar 1815 (Gomperts dkk., 2014). Hak cipta: Journal of The Siam Society, 2014.
Tabel 2 Legenda Georeferensi hasil penelitian Wardenaar 1815 (Gomperts dkk,. 2014).
Keterangan | |
652792,9165 | 1. Makam Putri Campa |
652684,9165 | 2. Kolam Segaran |
652215,9163 | 3. Sumur Windu |
652232,9163 | 4. Sitinggil |
652029,9166 | 5. Candi Muteran |
652031,9166 | 6. Candi tanpa nama |
651646,9166 | 7. Candi Brahu |
652044,9166 | 8. Candi Gentong |
653487,9166 | 9. Gapura Wringin Lawang |
654315,9163 | 10. Gapura Bajang Ratu |
651154,9165 | 11. Arca Joko Dolog |
651141,9165 | 12. Arca Hariti |
652982,9164 | 13. Candi Menakjinggo |
652402,9164 | 14. Taman kerajaan |
652420,9164 | 15. Cangcangan gajah (timur laut) |
652410,9164 | 16. Cangcangan gajah (tenggara) |
652379,9164 | 17. Cangcangan gajah (barat daya) |
652398,9164 | 18. Cangcangan gajah (barat laut) |
652384,9164 | 19. Alun-alun |
652305,9164 | 20. Permukiman Segaran |
652306,9164 | 21. Situs reruntuhan batu bata |
Penelitian Gomperts dkk. pada periode 2006/7-2014 yang diterbitkan tahun 2014 (Journal of The Siam Society) sangat penting dalam memberikan konfirmasi hasil penelitian terdahulu. Ketiga peneliti ini telah melakukan georeferensi dengan GIS yang semakin jelas menunjukkan bahwa eksistensi tinggalan Majapahit di Trowulan bisa dipertanggungjawabkan keakuratannya (lihat Gambar 11). Sebelum adanya peta baik dari Wardenaar maupun Stutterheim, maka informasi tentang keberadaan tinggalan Majapahit tersebut hanyalah bersumber dari tradisi lisan khususnya Kakawin N?garak?t?gama dan kakawin-kakawin lainnya yang berisikan nyanyian dan puisi berbahasa Jawa Kuno, maupun catatan dari para pengembara yang berkunjung ke Trowulan. Setelah dilakukan pemetaan oleh Wardenaar dan Stutterheim berdasarkan sisa-sisa reruntuhan dan struktur yang berada di lokasi saat survei penelitiannya, maka dapat disimpulkan bahwa tinggalan Majapahit adalah sesuai dengan uraian dalam Kakawin N?garak?t?gama.
Gambar 11 Komplek Kedaton Majapahit hasil penelitian Stutterheim 1948 (Gomperts dkk., 2014). Hak cipta: Journal of The Siam Society.
Tabel 3 Legenda georeferensi hasil penelitian Stutterheim 1948 (Gomperts dkk., 2014).
No | Koordinat GPS UTM WGS84 | Bagian dari Subkawasan Kedaton dipetakan Stutterheim (1948) |
1 | 651511,9163 | Catus Patha (persimpangan jalan) |
2 | 650868,9164 | Waringin (pohon beringin/banyan tree (Ficus indica) |
3 | 652172,9164 | Wanguntur-Maha Sabha (empat posisi yang mengitari balai pertemuan agung) |
4 | 651539,9164 | Witana-Maha Sabha (singgasana raja di balai pertemuan agung) |
5 | 652017,9163 | Penangkilan-Maha Sabha (posisi penghadap raja di balai pertemuan agung) |
6 | 652103,9163 | Tempat duduk penasehat Siwa dan Budha di balai pertemuan agung |
7 | 652824,9163 | Pangastulan Brahma (tempat pemujaan Brahma) |
8 | 652626,9163 | PangastulanSiwa (tempat pemujaan Siwa) |
9 | 652808,9163 | Meru |
10 | 632095,9164 | Batu Petawuran (tempat sesajen persembahan) |
11 | 652051,9163 | Gerbang terluar |
12 | 652123,9164 | Menara pengawas |
13 | 652307,9163 | Pegajahan (tempat mengikat gajah) |
14 | 652907,9164 | Natah (halaman) |
15 | 652002,9163 | Hawan (jalan dalam kedaton timur-barat) |
16 | 651669,9163 | Pelawangan (gapura) |
17 | 652075,9163 | Mandapa Pasatan (bale sabung ayam) |
18 | 651973,9163 | Natah |
19 | 651970,9163 | Natah jeroan (dalam) |
20 | 651929,9163 | Palawangan mahelet (aling-aling) |
21 | 651941,9163 | Natah yang dijaga bhayangkari |
22 | 652350,9163 | Batu gilang |
23 | 652124,9163 | Batu gilang bertuliskan 1200 caka |
24 | 652236,9163 | Wantilan sakakutus (delapan pilar) |
25 | 652320,9162 | Gerbang |
26 | 652422,9163 | Natah jeroan (dalam) |
27 | 653186,9164 | Gapura |
28 | 653112,9164 | Natah |
29 | 651414,9164 | Wantilan umpak-umpak (14 pilar) |
30 | 653284,9163 | Sitinggil (Candi Kedaton) |
31 | 653242,9162 | Pohon Asoka (Jonesia asoka) yang menaungi tempat berkumpulnya ksatria, dll yang akan menghadap raja |
32 | 652876,9164 | Gerbang menuju keputren istri-istri raja |
33 | 653309,9134 | Puri kediaman adik Raja Hayam Wuruk dan keluarga |
34 | 652004,9162 | Puri kediaman ayah Raja Hayam Wuruk |
35 | 651535,9162 | Puri kediaman Raja Hayam Wuruk |
36 | 651536,9162 | Wantilan sekenem (6 pilar) |
37 | 653309,9134 | Lantai segi enam yang berdekatan dengan puri kediaman adik Raja Hayam Wuruk |
38 | 653535,9163 | Kolam yang dikelilingi bata merah |
39 | 653342,9162 | Wantilan sekenem (6 pilar) |
Selanjutnya, muncul pula penelitian lanjutan yang mengintegrasikan penelitian dari masa kolonial hingga masa kini, dipadukan dengan teknologi, dan diinterpretasikan secara ruang (spatial). Penelitian dari Kubontubuh (2021) dalam bidang ilmu arsitektur dari Institut Teknologi Bandung menghasilkan upaya penyusunan model konseptual pelestarian berbasis kawasan di Trowulan. Penelitian terbaru ini dilakukan berdasarkan interpretasi dari hasil georeferensi terhadap peta dari masa kolonial serta tumpang susun dengan kondisi aktual. Berdasarkan uraian tentang penelusuran sejarah Trowulan, maka dilakukan pemetaan terhadap sebaran objek-objek cabar budaya yang telah dikonfirmasi keakuratan posisinya berdasarkan peta georeferensi dari Gomperts dkk., 2014. Gambar 12 di bawah ini menguraikan posisi sebaran cagar budaya dalam tumpang susun peta kondisi aktual dengan Peta Kepurbakalaan Modjokerto 1921. Selanjutnya sebaran objek cagar budaya aktual dipetakan dalam Gambar 13 sebagai dasar delineasi pengelompokan gugus wilayah. Sebaran objek cagar budaya membentuk pola kepadatan sebaran memusat di area fungsi kedaton. Sementara itu, sebaran objek cagar budaya lainnya tersebar di area luar kedaton baik di dalam kawasan dalam tembok keliling (ringmuur), maupun di bagian luar tembok keliling tersebut. Di dalam keilmuan arsitektur, pelestarian tidak lagi menempatkan cagar budaya sebagai objek tunggal semata. Namun demikian, untuk pemanfaatan cagar budaya bagi masyarakat dan lingkungan, objek cagar budaya perlu didudukkan sebagai bagian dari lingkungan yang lebih luas. Identifikasi aspek-aspek penetapan signifikansi budaya di Trowulan didasarkan pada aspek identitas, memori, dan arti sosial budaya.Setelah dilakukan georeferensi, maka hasil pemetaan baik dari Wardenaar dan Stutterheim menjadi data akurat yang dilengkapi dengan koordinat posisi aktual tinggalan Majapahit tersebut di lapangan. Walaupun demikian, terdapat pula perbedaan antara peta kawasan Trowulan hasil penelitian Wardenaar dengan uraian Kakawin N?garak?t?gama pada beberapa titik lokasi. Hal ini disebabkan oleh perubahan yang dialami dalam setiap periode waktu yang sangat dinamis. Kelengkapan sarana dan prasarana kota Trowulan dalam N?garak?t?gama (1365), telah mengalami banyak perubahan pada saat area tersebut ditemukan kembali oleh Wardenaar pada tahun 1815. Demikian pula, kedalaman survei yang dilakukan oleh Wardenaar dalam waktu yang sangat terbatas yakni hanya tiga hari pada tanggal 5-7 Oktober 1815 tentunya dapat mengakibatkan keterbatasan lingkup kawasan yang disurvei. Namun keterbatasan ini dilengkapi oleh hasil georeferensi oleh Gomperts dkk pada tahun 2014 (didasarkan penelitian lapangan tahun 2006/7-2014), sehingga titik-titik lokasi dapat dipastikan kembali dan dicatatkan koordinatnya secara akurat. Kedua hasil georeferensi di atas menjadi catatan penting bagi Trowulan dalam masa perkembangan pasca kemerdekaan, khususnya untuk memahami sebaran cagar budaya yang ada dan perbandingannya dengan kondisi aktual terkini.
Gambar 12 Peta Tumpang Susun 1921-2018 Sebaran Cagar Budaya (Peta Kepurbakalaan Modjokerto, 1921; Peta KCBN Trowulan 2013 hasil kajian Kubontubuh, 2021; dan Peta Georeferensi Gomperts dkk., 2014).
Gambar 13 Peta Sebaran Cagar Budaya 2018 (Peta Kepurbakalaan Modjokerto, 1921; Peta KCBN Trowulan 2013 hasil kajian Kubontubuh, 2021; dan Peta Georeferensi Gomperts dkk., 2014).
Upaya-upaya untuk mengelola Trowulan sebagai suatu kawasan telah ditunjukkan pula dengan munculnya kebijakan dari pemerintah pusat maupun daerah, seperti penetapan KSN dan KCBN. Namun, sosialisasi maupun implementasinya belum optimal. Selain itu dukungan pemerintah berupa payung kebijakan dan panduan rencana induk belum optimal. Hal ini ditunjukkan dari pengakuan terhadap Trowulan sebagai KCBN baru diterbitkan pada tahun 2013, setelah lebih dari setengah abad pasca kemerdekaan. Selain itu, terdapat beberapa kekeliruan dalam perincian nama desa, jumlah desa, maupun nama kecamatan dan kabupaten kota yang tercantum dalam SK KCBN 2013 tersebut (Kajian FIB UI, 2015 dan Kubontubuh, 2021).
Selain penyempurnaan data-data dari hasil pemetaan yang berasal dari penelitian masa kolonial dan pengembangan penelitian di masa kini, maka pemerintah juga melengkapi kebijakan khususnya perencanaan terkait. RIA tahun 1986 dinilai belum dapat diimplementasikan secara optimal, sehingga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyusun Rencana Induk Pengembangan Kawasan Taman Majapahit Trowulan 2013. Pemerintah melalui BPCB Jawa Timur melakukan penyusunan perencanaan yang lebih memperhatikan hubungan antara situs dan pengembangan mendalam dari setiap situs di Trowulan. Namun, implementasi RIA tahun 2013 ini belum dilakukan hingga kini. Salah satu alasannya, adalah dokumen RIA masih terus diupayakan perbaikan dan kelengkapannya.
Selain itu, BPCB Jawa Timur juga mulai melakukan pendalaman Zonasi Trowulan pada tahun 2017-2019 untuk memastikan zona inti dan zona penyangga dari setiap bagian kawasan. Kegiatan ini sangat penting mengingat selalu ada ancaman dari masyarakat pemilik lahan lokasi situs, pihak swasta khususnya investor, maupun pemerintah daerah yang belum memahami prioritas pelestarian kawasan Trowulan.
DAFTAR PUSTAKA
Catatan kaki:
[1] Wardenaar dipilih oleh Raffles karena kemampuannya sebagai surveior lulusan Akademi Angkatan Laut (1806) di Semarang yang handal serta kemampuannya berbahasa Jawa dan berbaur dengan pribumi karena ibu kandungnya adalah wanita Jawa.
[2] Raffles dianugerahi gelar kesatriaan (knighthood) Inggris oleh Pangeran Wali (Prince Regent, George IV, 1820 – 1830) di Carlton House, London tanggal 29 Mei 1817 atas terbitnya buku “History of Java”. Saat ini buku tersebut mulai dikritisi beberapa pihak sebagai penjiplakan (plagiat) dari narasumber tokoh-tokoh Jawa antara lain Kiai Adipati Suro-adimenggolo V (sekitar 1775-1826), menjabat 1809-22) dan Natakusuma (Panembahan Sumenep) yang tidak disebutkan namanya sebagai rujukan dalam buku tersebut (Carey, 2017: i-viii dalam Kubontubuh dan Budianta, 2017).
[3] Pendapat Alexandra Green dalam Diskusi Badan Pelestarian Pusaka Indonesia “Raffles’ Collections from Java: European Evidence of Civilization” pada 17 Maret 2019 di Jakarta.
[4] Pada periode ketika pemerintah kolonial menguasai wilayah ini, residen Inggris yang baru ditunjuk setelah aneksasi Japan oleh Pemerintah Inggris pada 1 Agustus 1812 sesuai dengan perjanjian dengan keraton Jawa tengah-selatan adalah Letnan (kelak Let-Kol.) Henry G. Jourdan (menjabat March-September 1813).
[5] Kolonial Belanda melaksanakan monopoli perdagangan VOC pada tahun 1619-1799 yang dilanjutkan dengan pemerintahan kolonial tahun 1799–1942, sementara penyebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie) dimulai sejak Desember 1818.
[6] Eschauzier Corporation NV Landbouw Maatschappij Ketanen Mojokerto (1898-1938) didirikan oleh Pieter Eschauzier dan G.A.J. Eschauzier pada tahun 1898)
[7] (1). Jonathan Rigg (ahli Bahasa Sunda dari Inggris), ‘Tour from Sourabaya, through Kediri, Blitar, Antang, Malang and Pasuruan, back to Sourabaya [Part I]’ Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (Singapore) (1849:80–81); (2). H.J. Domis (Residen Surabaya, 1831-4), ‘Bijzonderheden betreffende Sourabaya en Madura’, De Oosterling 2 (1834:90); (3). J.F.G. Brumund, Indiana, vol.2 (Amsterdam: Van Kampen, 1854:112), and W.R. van Hoëvell (Pastor and nobleman/Baron), Reis over Java, Madoera en Bali in het Midden van 1847, vol. I (Amsterdam: Van Kampen, 1849-54: 174–84); (4). Alfred Russel Wallace (ahli ethnografi), The Malay Archipelago (London: Macmillan, 1869:111), (mengunjungi Majapahit – Trowulan pada tahun 1861 dan menulis sebagai berikut: “Traces of buildings exist for many miles in every direction and almost every road and pathway shows a foundation of brickwork beneath it-the paved roads of the old city”(terdapat jejak-jejak struktrur yang memanjang dari berbagai penjuru arah dan hampir semua jalan menunjukkan adanya pondasi bata di bawahnya-jalan yang diperkeras di kota tua);
[8] Pada masa awal abad ke-20, Maclaine Pont (keturunan campuran dari ibu yang berasal dari Pulau Buru dan ayah berdarah Skotlandia, Spanyol, dan Perancis) mulai melakukan penelitian di Trowulan. Ia menjual firma arsiteknya di Semarang dan pindah ke Trowulan sampai tahun 1943.
[9] Untuk hasil penelitian Wibowo lihat ‘Kubur Panggung: Situs yang Memerlukan Penelitian Khusus’, Majalah Arkeologi, Vol. 3.1-2 (1980), hal.2–34.
[10] Lihat Darmoyuwono dkk., Penerapan Teknik Penginderaan Jauh untuk Inventarisasi dan Pemetaan Peninggalan Purbakala Daerah Trowulan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur’ (Cibinong: Bakosurtanal, 1983), hlm..4.
[11] Kegiatan ekskavasi dalam PATI 1 dilakukan pada 29 Juli-10 Agustus 2008. Buku laporan PATI 1 diterbitkan tahun 2011. Salah satu laporan PATI 1 mengungkapkan mayoritas temuan fragmen keramik Cina dan kepeng dianalisis berasal dari zaman Dinasti Yuan (1271–1368) dan Ming (1368–1644).
[12] PATI 2 dilakukan pada 16-29 September 2012, dan buku laporan diterbitkan pada tahun 2013.
[13] Prof. Aris Munandar menerbitkan buku yang berjudul Tidak Ada Kanal di Majapahit pada 8 Maret 2013 (Jakarta: Wedatama, 2013).