Masa Pudar meliputi tiga pembagian periode di dalamnya, yaitu:
Secara garis besar Masa Pudar ini menyiratkan masa yang diawali dengan memudarnya Kerajaan Majapahit karena berbagai perselisihan internal dalam keluarga raja. Peristiwa peperangan yang mengakibatkan pembakaran kedaton serta pemindahan lokasi ibu kota keluar dari Trowulan turut menjadi penyebab kehancuran di pusat pemerintahan Majapahit. Selain itu terjadi pula bencana alam berupa gunung meletus dan banjir yang merusak kota Trowulan. Berikut ini adalah uraian terperinci dari masing-masing peristiwa penting yang memberikan pengetahuan tentang perubahan keruangan yang terjadi di Trowulan dalam periode Masa Pudar.
Kejayaan Majapahit tidak bertahan lama, karena telah munculnya bibit-bibit pemberontakan sejak pendirian Kerajaan Majapahit, dan semakin surut sepeninggal tokoh-tokoh besarnya yang mendorong terjadi pergesekan antara saudara untuk perebutan takhta dan kekuasaan. Mulai surutnya Kerajaan Majapahit sampai kehancurannya adalah cukup lama, yaitu kurang lebih 89 tahun. Tonggak dimulainya masa surut adalah saat meninggalnya Prabu Hayam Wuruk pada tahun 1389. Masa surut mencapai akhir pada saat kota Trowulan diserang tahun 1478 karena perebutan kekuasaan dan pusat kerajaan akhirnya dipindahkan dari Trowulan ke Daha (Kediri).
Setelah kota Trowulan dihancurkan pada tahun 1478, terdapat beberapa pengembara asing menyebutkan tentang pemindahan pusat kerajaan Majapahit dan masih berlanjutnya hubungan dagang pada masa akhir tersebut. Salah satu acuan yang dipakai dalam penelitian ini adalah buku A New History of South East Asia (Ricklefs 2010:113) yang menyebutkan bahwa sisa-sisa Kerajaan Majapahit di Kediri dihancurkan pada tahun 1527 oleh Kerajaan Demak. Namun penaklukan ini bukanlah didasari oleh agama, melainkan didorong oleh ambisi penguasaan perdagangan Nusantara di tanah Jawa yang ditunggangi oleh kapitalisme Belanda (Djafar, 2009). Darah Majapahit masih terus memimpin di Pulau Jawa pada masa selanjutnya walaupun nama Majapahit berangsur hilang. Pengetahuan ini menjadi dasar bagi pembahasan penelitian tentang nilai memori kebesaran Majapahit bagi para keturunannya di masa sekarang yang telah tersebar di berbagai pelosok Indonesia.
Setelah kehancuran Majapahit, terjadi eksodus penduduk Majapahit yang tercatat dalam Pararaton. Pelarian menuju ke daerah lain di Jawa (Oosthoek/Ujung Timur Jawa – Jember-Banyuwangi) dan Bali. Eksodus yang dimaksudkan di sini adalah larinya penduduk Majapahit dari Trowulan saat pembakaran kota Trowulan karena perang saudara tahun 1478, dan larinya penduduk saat penaklukan sisa Kerajaan Majapahit di Kediri oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527.
Pelarian penduduk saat kehancuran Trowulan mengacu kepada dua arah, yaitu pelarian ke arah barat Pulau Jawa dan sebagian terbesar ke arah timur. Pelarian ke Jawa Tengah berbaur dengan penduduk di Jawa yang didominasi oleh pengaruh ajaran Islam yang berkembang menjadi Kerajaan Mataram Islam. Sementara itu, pelarian lainnya diyakini mengembangkan darah Majapahit di lokasi yang baru seperti Tengger, Pengging, dan Banyuwangi yang mengembangkan tradisi Kejawen, yakni gabungan antara tradisi Hindu dan Islam yang ditunjukkan dengan tinggalan berupa pura kuno dan tempat peribadatan.
Selain itu, terdapat pula pelarian dari Trowulan yang memilih ke Bali (Hefner, 1990:6). Dalam penelitian disertasinya, Kubontubuh (2021) menginterpretasikan bahwa mereka adalah keturunan dari orang-orang Bali yang pulang kembali ke Bali setelah merantau di Jawa. Perantauan orang Bali ke Jawa dilakukan pada masa sebelum terbentuknya Kerajaan Majapahit, yakni masa pemerintahan Prabu Airlangga (1019-1049) yang berasal dari Kerajaan Bedahulu di Bali. Jadi, keturunan orang-orang Bali pengikut Airlangga yang sudah berkembang di Majapahit, akhirnya pulang ke Bali. Sesampainya di Bali orang-orang tersebut meneruskan kembali ajaran Hindu dan tradisi Bali yang telah berakulturasi di Trowulan. Pengetahuan ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara Bali dan Trowulan yang juga mempengaruhi pola keruangan termasuk tradisi, pengaturan irigasi sawah, dan langgam arsitektur bangunan (Arifin dan Permana, 2011).
Berbeda dengan kehidupan di Bali, maka kehidupan di tanah Jawa pada masa kehancuran Majapahit tentunya mengalami perubahan sosial budaya yang bernafaskan ajaran Islam. Dengan demikian pemanfaatan berbagai candi sebagai fungsi keagamaan Hindu dan Budha di Trowulan berangsur hilang sehingga kondisinya semakin terbengkalai. Kondisi ini menarik untuk dibandingkan dengan kawasan ibukota kerajaan Ayutthaya di Thailand. Kota Ayutthaya juga mengalami kehancuran secara fisik ketika diserang oleh Kerajaan Burma pada tahun 1760 dan 1765-67 di bawah Raja Alaungpaya (1714-60; bertakhta 1752-1760) dan putranya, Hsinbyushin (bertakhta 1763-1777) (Seekins, 2017; Baker dan Phongpaichit, 2017), namun tidak mengalami perubahan ideologi seperti Kerajaan Majapahit. Penduduk Ayutthaya masih meneruskan tradisinya yang berlandaskan ajaran Buddha hingga saat ini, sehingga berbagai fungsi bangunan-bangunan tinggalan Kerajaan Ayutthaya walaupun tidak utuh lagi, namun tetap berfungsi dan dirawat sebagai tempat kegiataan keagamaan. Dengan demikian ancaman untuk meruntuhkan bangunan tinggalan masa sebelumnya tidak terjadi di Ayutthaya (1350-1767). Namun, kondisi sebaliknya merupakan tantangan di Trowulan.
Dalam akhir masa pudar, Trowulan mengalami masa sunyi yang berisikan peristiwa penting tentang raja-raja Bali pada abad ke-17 dan ke-18 masih terus melanjutkan kunjungan ke Trowulan walaupun kondisinya sudah hancur (Kidung Pamancangah). Tidak ada kunjungan ke Trowulan dari pihak lain mengingat perubahan tatanan sosial budaya pada masa itu mengarah ke ajaran Islam, maka selain kunjungan dari Bali tidak ada catatan kunjungan dari masyarakat lainnya ke Trowulan. Catatan ini selain menunjukkan pentingnya hubungan Bali dan Majapahit, juga menunjukkan pentingnya bangunan yang dibangun masa Majapahit untuk fungsi-fungsi terkait agama Hindu sebagai lokasi ziarah yang dikunjungi. Selanjutnya ekspedisi dari Bali ke Jawa Timur lambat laun juga semakin berkurang dan tercatat hanya sampai ke Blambangan (Banyuwangi) sebagai kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa, serta tidak sampai ke Trowulan (1976: 376).
Selanjutnya, Trowulan secara administratif berada di bawah Japan (nama lain dari Mojokerto sebelum tahun 1838) yang merupakan daerah bawahan dari Kabupaten Pasuruan yang dipimpin oleh Untung Suropati (sekitar 1645-1706). Walaupun nama Japan sudah tercatat sebagai nama wilayah pada masa itu, namun tidak diketahui seberapa besar wilayah tersebut. Demikian pula Daha juga merupakan bagian dari Pasuruan. Daha atau Kediri sebelumnya merupakan wilayah kerajaan Majapahit, terutama setelah pusat kerajaan dipindahkan keluar dari Trowulan pada tahun 1478 ke Daha. Namun, tidak ada catatan penjelasan tentang Trowulan pada masa itu.
Ketiadaan pencatatan tentang Trowulan dalam laporan Kabupaten Pasuruan, menambahkan pengetahuan bahwa Trowulan betul-betul memudar (Sutjipto, 1968: 51-70). Sebaliknya, catatan tentang Japan pernah dikemukakan dalam laporan Belanda, yaitu Catatan Harian dari Kastil Batavia (Daghregisters van het Kasteel Batavia) tertanggal 21 Juli 1708 bahwa Amangkurat III (bertakhta 1703-8 di Kerajaan Mataram Islam) ditangkap pada 23 Juni 1708 di Japan (Ricklefs 1993:148-9; Niemeijer, 2019: 258-9, terdapat kesalahan pencatatan yang merujuk kepada Juli 1708 padahal seharusnya Juni 1708).
Trowulan sebagai bagian dari Japan, selanjutnya tidak lagi berada di bawah Pasuruan. Perjanjian Giyanti (1755) [2] mencantumkan bahwa Distrik Japan dan Distrik Wirosobo menjadi bagian dari monconegoro timur Yogya, yang dikelola bupati wedana (bupati senior) di Madiun, pasca-1760, Raden Ronggo Prawirodirjo I (menjabat sekitar 1760-84). Distrik Wirosobo saat ini adalah Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang yang juga bagian dari KCBN Trowulan selain Distrik Japan yang sekarang menjadi Kabupaten Mojokerto.
Selain data tentang struktur administrasi Trowulan pasca kehancuran Majapahit, kajian tentang situasi lingkungan dan geografis Trowulan dan sekitarnya didapatkan dari beberapa literatur yang menyebutkan bahwa area di Jawa Timur menjadi kosong dengan hutan dipenuhi macan hitam [3] dan pohon raksasa, di mana kondisi ini adalah akibat perang yang berkepanjangan dan jumlah penduduk menurun drastis. Informasi ini sejalan dengan laporan Kopral Pieter Gulin yang dikirim ke Kertosono, Jawa Timur, pada era Marsekal Herman Willem Daendels (1808-11) untuk melakukan penelitiannya tentang serangan terhadap pedagang Tionghoa di Bunder, Semarang (Carey, 2012). Catatan ini turut melengkapi informasi mengenai situasi lingkungan Jawa Timur pada Masa Sunyi tersebut.
Selain uraian tentang lingkungan geografis yang terkait langsung, terdapat pula catatan yang turut memberikan ilustrasi perkembangan ekonomi dan sosial pada masa pudar tersebut. Pada periode ini pula Marsekal Daendels selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda memancangkan tonggak perubahan di Pulau Jawa melalui pembangunan Jalan Raya Pos (groote postweg) pada 1809-1810 yang membujur 1.100 km dari Anyer di barat sampai ke Panarukan di ujung timur Pulau Jawa. Pembangunan jalan ini turut berpengaruh terhadap Trowulan karena menjadi cabang dari Jalan Raya Pos. Daendels juga pernah menyebutkan nama Japan sebab penting untuk penghasilan kayu jati untuk konstruksi benteng Daendels di Fort Lodewijk di Selat Madura - dalam komunikasi surat menyuratnya kepada Nicolaas Engelhard (1761-1831), Gubernur Pantai Timur Laut Jawa yang menjabat pada 1801–1808 (Carey, 2012: 248).
Selanjutnya, sebagaimana dijelaskan pada awal subbab ini bahwa pudarnya Kerajaan Majapahit tidak hanya karena kehancuran akibat perang, namun juga faktor alam, yakni perubahan lingkungan diakibatkan iklim dan bencana alam. Salah satu bencana alam yang turut menghancurkan Trowulan khususnya gunung meletus, yaitu Gunung Kelud pada tahun 1395, 1421, 1450, dan 1462 (Cahyono, 2012:89). Kehancuran fisik Trowulan disebabkan oleh posisi geografisnya yang berdekatan dengan gunung-gunung aktif di sekitarnya (lihat Gambar 1 dan 2), yakni terutama Gunung Kelud (Badan Geologi, 2014). Selain itu Kabupaten Mojokerto telah ditetapkan sebagai daerah rawan banjir karena posisinya yang dekat dengan Kali Brantas (Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Timur, 2012). Namun tidak ada pencatatan yang mengemukakan adanya eksodus penduduk keluar dari Trowulan karena kondisi banjir ini.
Gambar 1 Letak geomorfologis Trowulan (Sampurno, 1980; dalam Depdikbud 1986:16).
Gambar 2 Gunung-gunung di sekitar Trowulan (Depdikbud, 1986).
Gunung-gunung berapi di sekitar Trowulan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 1 dan 2 adalah Gunung Kelud (1.731 mdpl), Gunung Welirang (2.282 mdpl), Gunung Anjasmoro-Arjuno (2.812 mdpl), Gunung Penanggungan atau Pawitra (1.653 mdpl), dan Gunung Kawi (2.551 mdpl). Pararaton (VIII, IX, X, XI, XII, XIV, XVII, XVIII) memuat informasi mengenai delapan hingga sembilan kali peristiwa vulkanik, yang besar kemungkinan berkenaan dengan letusan Gunung Kelud atau anak bukitnya (Cahyono, 2012). Terdapat catatan terjadinya enam kali gunung meletus yaitu pada tahun 1311, 1334, 1376, 1385, 1395, 1421, 1451, 1462, dan 1481.
Selain itu disebutkan pula adanya bencana gempa bumi pada tahun 1450, serta terjadi masa paceklik yang mengakibatkan kelaparan besar-besaran pada tahun 1426. Namun, Pararaton tidak mencantumkan rincian tentang dampak bencana alam tersebut bagi Trowulan. Dalam hal ini tentunya letusan gunung berapi mengakibatkan penambahan lapisan tanah, tetapi sampai sekarang belum ada penelitian yang memastikan kondisi geologis lapisan-lapisan tersebut (Smithsonian, 2006).
Menurut penelitian ahli geologi Sampurno dkk. (Sartono dan Bandono, 1991:127) pada tahun 1980 ada dua peristiwa yang bisa mengakibatkan terjadinya penimbunan material pasir tufa pada daerah Trowulan. Kedua peristiwa yang mengakibatkan kehancuran Trowulan yaitu: (1) aliran pasir dan kerikil oleh banjir dari deretan gunung api atau banjir dari Kali Brantas dan (2) serta letusan gunung api yang telah mengeluarkan abu vulkanik yang tersebar luas dan terjadi endapan alluvial berupa penutupan lebih lanjut.
Selain Sartono dan Bandono (1991), penelitian aspek geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dipimpin Sampurno tersebut dikaji pula dalam penelitian Safitri (2015). Dugaan awal bahwa Kerajaan Majapahit hancur akibat banjir dikaitkan dengan letusan Gunung Welirang sebagai penyebabnya. Sementara dugaan kedua bahwa wilayah ibukota Kerajaan Majapahit hancur karena tutupan material dari letusan gunung adalah dikaitkan dengan posisi ibukota Kerajaan Majapahit tepat berapa di jalur lahar proklastik Gunung Welirang. Posisi tersebut mengakibatkan lahar yang melintas di jalur tersebut menyapu bersih ibukota Kerajaan Majapahit. Namun tidak disebutkan kapan letusan gunung tersebut terjadi.
Sementara itu, penelitian Widodo (2020) melengkapi catatan tentang bencana alam yang pernah terjadi di Trowulan yaitu terutama letusan gunung pada tahun 1343 Saka (1421 M) yang mengakibatkan kekurangan pangan pada 1348 Saka (1426 M). Terjadi pula gempa bumi (palindu) pada 1372 Saka (1450 M) sebelum gunung meletus lagi pada 1373 Saka (1451 M). Berdasarkan keterkaitan data bencana alam (Widodo, 2020) dan kedua kajian di atas terhadap penelitian Sampurno dari ITB, maka kedua peristiwa bencana alam letusan gunung tersebut diyakini pernah terjadi di Trowulan di mana letusan terbesar adalah yang pertama sekitar tahun 1421 dan yang kedua sekitar tahun 1451.
Iklim di Trowulan dengan ketinggian rata-rata 50 meter di atas permukaan laut dan suhu rata-rata 30°C adalah termasuk klasifikasi iklim panas sesuai dengan penelitian Junghuhn (1845 dan 1852-1854) bahwa daratan dengan ketinggian 0-600 meter di atas permukaan laut memiliki suhu 22-26,3°C. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya genangan air secara luas di Trowulan ketika musim hujan yang mempengaruhi kerentanan material yang terbuat dari tanah liat seperti batu bata, gerabah dan lainnya. Hal ini juga dibuktikan dengan keberadaan objek cagar budaya di Trowulan dalam kondisi tidak utuh lagi dan banyak ditemukan di bawah beberapa lapis permukaan tanah karena telah terendam air dalam waktu yang lama dan mengalami beberapa kali sedimentasi.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, K. dan Permana, R.C.E. (eds.). (2011): Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia I (PATI-I 2008). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia/Orchid Media Creasindo, Depok.
Baker, C. dan Phongpaichit, P. (2017): History of Ayutthaya: Siam in the Modern World, Chulalongkorn University, Cambridge.
Cahyono, D. (2012): Vulkano-Historis Kelud: Dinamika Hubungan Manusia-Gunung Api, Kalpataru, Vol. 21 No. 2 November 2012.
Carey, P. (2012): Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Jilid 2, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1986): Munculnya Sisa-Sisa Kejayaan Majapahit, Depdikbud, Jakarta.
Djafar, H. (2009): Masa Akhir Majapahit, Komunitas Bambu, Jakarta.
Hefner, R.W. (1990): Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, Princeton University Press, New Jersey.
Kubontubuh, C. (2021): Model Konseptual Pelestarian Berbasis Kawasan bagi Cagar Budaya Tak Utuh, Studi Kasus: Kawasan Ibu Kota Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, Program Doktor, Insititut Teknologi Bandung, Bandung.
Ricklefs, M.C. (2010): A New History of Southeast Asia, Palgrave Macmillan, New York.
Sartono, S. dan Bandono (1991): Kehancuran Majapahit dari Pandangan Geologi, Proceeding Analisis Hasil Penelitian Arkeologi (AHPA) II, Puslit Arkenas, Jakarta.
Safitri, S. (2015): Telaah Geomorfologi Kerajaan Majapahit, Jurnal Criksetra, Universitas Sriwijaya, Palembang. Vol. 4, No. 7.
Seekins, D. M. (2017): Historical Dictionary of Burma (Myanmar), Rowman and Littlefield, London.
Smithsonian Institution (2006): Kelut Eruptive History, Global Volcanism Program, Amerika Serikat.
Widodo, A. (2020): Bencana Alam dan Jejak Peradaban Abad 12-14 M, Diskusi Webinar, Teknik Geofisika ITS, Surabaya.