Menu
Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI)

 

 

"Sudah sejak lama saya terinspirasi oleh ekskavasi dan pemugaran gunung api Vesuvius di Italia. Saya berpikir alangkah eloknya bila di situs bekas pusat kerajaan Majapahit itu bangsa kita bisa memulai suatu karya besar seperti ekskavasi di Pompeii dengan melibatkan para ahli arkeologi bangsa kita sendiri dari berbagai universitas secara kolaboratif. Apalagi jika penelitian itu juga melibatkan para mahasiswa mereka, sehingga karya ini sekaligus bisa menjadi ajang pendidikan dan latihan bagi generasi penerus peneliti arkeologi bangsa Indonesia".

(Hashim S. Djojohadikusumo)

 

Kerajaan Majapahit memiliki posisi yang penting dalam dua konstruk narasi, yaitu: identitas ke-Indonesia-an dan perkembangan arkeologi  di Indonesia. Meskipun disebutkan terpisah, kedua narasi tersebut sesungguhnya berkaitan erat. Dalam konstruk narasi yang disebutkan pertama, Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha yang mewarnai perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia. Empat pencapaian penting masyarakat Majapahit, yaitu: seni bangun (tata kota, irigasi, arsitektur); seni kriya (antara lain gerabah, logam, kain); seni sastra (kakawin dan kidung); dan seni dekorasi (pola hias gerabah, hiasan rumah), mewarnai kebudayaan Islam di Jawa yang berkembang setelahnya. Pada puncaknya, Majapahit kemudian menjadi sumber inspirasi bagi kaum pergerakan nasional dalam mengarusutamakan Identitas ke-Indonesia-an.

Pada konstruk narasi yang kedua, Majapahit menjadi ladang kajian ilmiah yang telah melahirkan ribuan tulisan dalam berbagai bentuk yang membicarakan berbagai aspek-aspek kesejarahan dan kebudayaan. Di dalam himpunan karya tersebut, termaktub pula sejumlah sarjana di bidang kepurbakalaan/arkeologi yang berhutang besar terhadap warisan budaya bendawi Majapahit. Kekayaan tinggalan arkeologis warisan kerajaan Majapahit telah berkontribusi besar dalam perkembangan ilmu arkeologi di  Indonesia. Kedua konstruk narasi tersebut berpadu utamanya dalam upaya menemukan bukti artifaktual pusat kerajaan Majapahit.

Baik secara individual, institusional, maupun kolaboratif, jumlah penelitian arkeologis yang pernah dilakukan di bekas wilayah kerajaan Majapahit sudah tidak terbilang. Sejak survei pionir yang dilakukan oleh Wardenaar pada kisaran awal abad ke-19, hingga saat ini, upaya untuk memancangkan secara pasti lokasi keberadaan pusat kerajaan Majapahit masih merupakan enigma dalam dunia arkeologi Indonesia. Moendardjito mengidentifikasi sejumlah problematika dalam khazanah penelitian Situs Kota Majapahit, yang meliputi: kesenjangan antara data tertulis dengan data artifaktual dalam kajian ilmiah, kurangnya koordinasi antar lembaga, kolaborasi dan integrasi hasil penelitian, dan kelemahan politik pelestarian yang menyebabkan tingginya tingkat ancaman perusakan pada situs Kota Majapahit.

Dalam pada itu, sesungguhnya upaya untuk memecahkan kebuntuan dalam menguraikan problematika di atas telah dirintis sejak dekade 1980’an. Lahirnya Rencana Induk Arkeologi Bekas Kota Kerajaan Majapahit Trowulan pada tahun 1986 telah menunjukkan upaya tersebut. Dengan perencanaan pengembangan yang diselaraskan dengan kerangka Pembangunan Lima Tahun (Pelita) a la Orde Baru, RIA Trowulan mengupayakan lahirnya konsep kerja yang mengintegrasikan penelitian dan pelestarian situs dalam satu tarikan busur. Usaha tersebut dimantapkan lagi dengan pelaksanaan Indonesian Field School of Archaeology. Kegiatan yang didanai Ford Foundation antara tahun 1991-1993 yang melibatkan Puslit Arkenas serta sejumlah mahasiswa dan dosen dari empat jurusan arkeologi di Indonesia adalah bentuk kolaborasi antar institusi dalam penelitian arkeologi di Situs Kerajaan Majapahit.

Sayangnya, lebih dari dua dekade kemudian, tepatnya pada tahun 2008, masalah akan penelitian yang kurang berorientasi pelestarian dan bersifat sektoral masih menjadi masalah yang teridentifikasi dalam Kajian Integratif Perlindungan dan Pelestarian Situs Kerajaan Majapahit di Trowulan. Lebih lanjut, penegasan tentang batas-batas dan tata kota Majapahit hingga kini masih menjadi diskursus yang hangat di kalangan peneliti dan akademisi arkeologi Indonesia. Padahal, menautkan identitas Indonesia pada kisah kejayaan Majapahit di masa lalu tanpa bukti yang autentik dan faktual tentang kebesaran Majapahit berpotensi menjerumuskan bangsa ini dalam sebuah jurang yang diistilahkan Riwanto Tirtosudarmo sebagai “Sindroma Yamin”. Pun demikian, Supratikno Rahardjo menyebutkan bahwa ada empat warisan Majapahit yang layak diketengahkan dalam konteks Indonesia di masa kini, yaitu: harmoni, toleransi, kosmopolitanisme, dan kreativitas.

Karena Majapahit yang masih saja relevan untuk Indonesia masa kini, di bawah bayang-bayang romantisme IFSA dan hasrat intelektual yang membuncah untuk terus menggali dan menemukan Majapahit, empat universitas penyelenggara pendidikan kearkeologian di Indonesia melaksanakan PATI. Kegiatan yang didanai sepenuhnya oleh Yayasan ARSARI Djojohadikusumo (YAD) menghimpun mahasiswa dan dosen arkeologi se-Indonesia dalam sebuah kegiatan penelitian terpadu bermuatan sekolah lapangan arkeologi. PATI I dan II yang terlaksana pada tahun 2008 dan 2012 dilakukan dalam bentuk ekskavasi ekstensif di sejumlah titik dalam Situs Kota Trowulan.

Senafas dengan IFSA yang menetapkan tujuan “membentuk ahli arkeologi yang berkemampuan tinggi dan berwawasan luas, baik sebagai ahli arkeologi historiografi (untuk penelitian sejarah budaya manusia) maupun arkeologi konservasi (untuk penelitian data masa lalu), baik yang bekerja di instansi penelitian, konservasi, maupun pendidikan”, PATI I dan II menetapkan tujuan umum, yaitu: “(1) menjadi ajang pembelajaran dan penajaman teori dan metode yang telah dimiliki oleh para pengajar dan mahasiswa arkeologi dari keempat universitas, dan (2) mempererat hubungan dan menumbuhkan rasa kebersamaan antar para pengajar dan mahasiswa arkeologi seluruh Indonesia.”

Berbeda dengan pelaksanaan sebelumnya, PATI III yang dilaksanakan pada tahun 2014 lebih berorientasi kepada upaya melahirkan sintesis dari dua PATI terdahulu. Pada PATI I, penelitian dititikberatkan pada penegasan lokasi kedaton Kerajaan Majapahit. Berlanjut pada PATI II, penelitian lebih difokuskan pada upaya memperdalam pemahaman mengenai peradaban masa Majapahit, khususnya kedudukan dan fungsi sumber air serta jaringannya dalam kota Majapahit. Sintesis yang dihasilkan pada PATI III diwujudkan dalam penerbitan dua buah buku, Inspirasi Majapahit dan Majapahit: Inspiration for the World, berisi himpunan tulisan ilmiah karya arkeolog-arkeolog akademisi Indonesia. Dengan demikian, cukup beralasan jika dunia arkeologi Indonesia masih memandang Situs Kerajaan Majapahit sebagai ladang subur tempat menggali pengetahuan sembari mengasah nalar intelektual.

Di tengah maraknya industri bata di wilayah Kecamatan Trowulan, Kab. Mojokerto, jejak kebesaran Majapahit kembali tersingkap. Pada Juni 2019 silam, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur (BPCB Jatim) menerima laporan akan temuan struktur bata di lokasi penggalian tanah untuk kepentingan pembuatan batu bata. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan melaksanakan peninjauan ke lokasi temuan. Struktur yang berlokasi di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Trowulan tersebut berorientasi Utara-Selatan dengan dimensi panjang 21 m, tinggi 70 cm. Puncak struktur berada pada kedalaman ±1 m dari permukaan lahan eksisting. Dari segi teknologi yang menggunakan teknik gosok tanpa spesi, diidentifikasi bahwa struktur tersebut identik dengan teknik pengerjaan bangunan besar dari masa Majapahit.

Bertolak dari hasil peninjauan tersebut, BPCB Jatim melaksanakan ekskavasi penyelamatan 21-30 Oktober 2019. Ekskavasi yang berlangsung selama 10 hari tersebut, Tim Ekskavasi berhasil menyingkap bentangan struktur bata kuno sepanjang 100 m dengan ketebalan 140 cm dengan tinggi kisaran 120 cm dari permukaan tanah asli. Dari dimensi tersebut, Tim Ekskavasi dari BPCB Jatim menduga kuat bahwa struktur bata tersebut merupakan sisi timur Kota Majapahit. Dari hasil peninjauan oleh Direktur PCBM Kemdikbud RI, BPCB Jatim merencanakan akan melaksanakan ekskavasi penyelamatan besar-besaran bersama BPCB se-Indonesia dengan dukungan dana dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud RI.

Tergerak oleh temuan dan rencana tersebut, YAD berkomitmen untuk turut berkontribusi dengan menggalang mahasiswa dan dosen arkeologi di Indonesia untuk terlibat dalam upaya penyelamatan Situs Kumitir, Trowulan. Terkait dengan rencana tersebut, ada tiga konteks yang menjadi perhatian dalam pelaksanaan PATI IV tahun 2020, yaitu: 1) dilaksanakan dalam rangka penyelamatan situs, 2) digandengkan dengan ekskavasi penyelamatan yang melibatkan BPCB se-Indonesia, dan 3) dilaksanakan pada era ketika pemanfaatan teknologi digital dalam ilmu-ilmu humaniora tengah mengarus-utama.

Dua konteks yang disebutkan pertama akan berdampak pada tujuan dan orientasi kegiatan. Jika PATI I dan II sarat akan muatan riset arkeologi murni, dan PATI III menghasilkan sintesis dari dua pelaksanaan PATI sebelumnya, maka PATI IV akan lebih diarahkan pada upaya penemuan dan rekonstruksi situs untuk menjawab dua pertanyaan utama:, yaitu: temuan apa saja yang terkandung di Situs Kumitir dan apa fungsi dari tinggalan di Situs Kumitir serta hubungannya dengan temuan-temuan lain di Situs Kota Trowulan. Lebih lanjut, PATI IV akan mengajak pesertanya untuk menilik ‘tradisi penggalian’ yang berkembang dalam dunia pelestarian cagar budaya di Indonesia melalui interaksi yang intensif di lapangan dengan praktisi pelestari cagar budaya dari BPCB. Adapun konteks yang disebutkan terakhir akan mewarnai muatan pembelajaran dalam PATI VI 2020. Dengan asumsi bahwa peserta yang hadir telah mapan dengan prinsip-prinsip dasar penelitian dan metode ekskavasi arkeologis, PATI IV menambahkan muatan pembelajaran berupa praktik penggunaan teknologi digital dalam penelitian arkeologi. Diharapkan dengan muatan tersebut, PATI IV bisa memberi warna yang unik dan pengalaman baru terhadap pesertanya.